Bincang Noesa bersama Indira Cestra Soerojo. Penggiat Pigmen Bumi.
“The purest and most thoughtful minds are those which loves color the most” -- John Ruskin, The Stone of Venice.
Jika nanti akan muncul pertanyaan, “Jika ada kesempatan untuk menjelajahi beberapa Taman Geologi (Geopark) di Indonesia, siapakah teman yang akan kamu ajak?” saya tentu akan menjawab, Indira Cestra Soerojo. Mengapa? Karena mungkin, ketika nanti perjalanan berlangsung, kami berjumpa warna-warna yang belum pernah kami lihat sebelumnya.
Perjumpaan kami dengan Indira pagi itu berawal dari kekaguman akan salah satu proyek yang sedang ia kerjakan, Colours of Indonesia. Dalam proyek tersebut, Indira mencoba untuk mengarsipkan berbagai warna yang dihasilkan dari ragam pigmen bumi. Seperti apa itu pigmen bumi? Pertanyaan ini membuat kami sukses mendarat ke Bogor, tempat dimana Indira melakukan eksperimen warna dari batuan hingga tumbuhan.
Disambut oleh meja kerja besar yang berisi segala bongkahan batu kecil, dan jejeran botol kaca kecil warna-warni. Gatal rasanya untuk melihat lebih dekat. Setelah saling sapa, obrolan kami secara otomatis langsung bermula dari pertanyaan…
N: Apa yang membuat seorang Indira suka sekali eksplorasi warna?
IC: Waktu kecil saya selalu senang melihat Ibu di dapur, melihat Ibu menyiapkan bahan masakan untuk hari itu. Lalu, yang paling ku ingat saat itu adalah Telur Pindang. Warna coklat yang ada pada telur pindang itu ternyata dari kulit bawang merah. Lain lagi begitu Ibu masak kue, dapur penuh dengan tumpukan daun pandan dan daun suji, keduanya, selain perasa, juga sebagai bahan pewarna hijau. Selain dua memori tadi, ada juga rasa kedekatan dengan warna dari istilah dan penyebutan nama warna pada era itu. Dulu orang disekitar biasa menyebutkan nama dari sebuah warna itu seperti; Hijau Daun Pandan, Merah Jambu (dari buah jambu). Bisa dibilang perkenalan saya dengan berbagai proses pembuatan warna itu ya… di dapur Ibu.
N: Wah gak terduga ya, dari masak memasak bisa jadi tukang ngulik warna.
IC: Ada latar belakang lain sebetulnya. Saya sempat mengelola graphic design house, yang pastinya harus akrab dengan komposisi warna. Sejalan dengan itu muncul kegemaran saya terhadap kain tradisional. Batik, awalnya. Biasanya kalau lihat kain, racun utamanya adalah, warna. Ya kan? Pasti sama, deh. Komposisi warna, pas membuat kita ngiler. Setelah berhenti dari kantor, aku membuat komunitas olah kain, yang kuberi nama Kreativita Bina Hasta, nah dari situ aku mulai banyak eksplorasi soal warna.
(Kumpulan batuan koleksi Indira Cestra)
N: Ini yang selalu aku temukan, orang-orang yang suka sekali dengan warna biasanya ada pemicunya, awalnya tertarik akan hal lain dulu, lalu tiba-tiba hanyut jadi penasaran soal warna. Mungkin kecintaan dengan kain bisa bikin mata kita jadi lebih sensitif ya dengan warna. Jadi di Kreativita Bina Hasta (KBH) itu apa aja, Mbak, yang dilakukan? Dan kenapa pigmen bumi yang akhirnya Mbak Indira selami?
IC: KBH itu fokus untuk kegiatan olah kain. Kita suka buat lokakarya untuk berbagi pengetahuan, ada gelar wicara, dan kadang memanggil guru untuk mengajarkan cara celup kain, melukis di atas kain, dan sebagainya.
Suatu hari, teman-teman yang senang melukis di atas kain merasa sulit ketika kami belajar soal pewarna alami. Karena natural dye (teknik pewarnaan dengan tumbuhan) tidak bisa digunakan untuk melukis. Karena konsentrat dari pewarna alam tidak bisa langsung diterapkan untuk melukis di atas kain. Itu lah yang membuatku penasaran, masa sih, bahan-bahan dari alam, nggak bisa digunakan untuk melukis? Pasti bisa. Karena kalau aku baca soal kehidupan pra-sejarah, banyak lukisan yang ada di goa itu pasti dari pewarna alami.
Disitulah aku memutuskan untuk belajar lebih dalam soal pigmen bumi. Waktu itu susah sekali mendapatkan teman yang menggeluti hal yang sama. Jadi aku ikut kelas daring, baca buku, cari teman di media sosial yang menggeluti hal yang sama.
N: Jadi sebenarnya, pigmen bumi dan natural dye itu apa sih, Mbak, bedanya?
IC: Di sini rata-rata hanya menyebut ‘warna alam’ tapi kalau di barat, mereka membedakan antara mineral pigment dan natural dye. Pigmen warna bumi itu berasal tanah dan batuan. Batuan sebagian dari tanah yang mengeras. Pigmen warna biasa digunakan untuk melukis.
Kiri: Batuan Malachite dan Azurite dari Kebumen | Kanan:Batuan dari Bangka Belitung)
N: Jadi selama itu belajar otodidak? Mengolah pigmen nya belajar dari mana saja, Mbak?
IC: Rasa penasaranku dengan pigmen warna ini berhasil membuatku pergi ke negara lain. Salah satunya ke Chiang Mai, Thailand. Salah satu perjalanan yang menambah wawasanku soal pigmen bumi. Dari semua trial and error yang aku lakukan, bertemulah aku dengan kawan maya dari Instagram, orang Thailand juga. Setelah berkomunikasi dengan dia, aku minta untuk lokakarya dengan dia dan akhirnya kami pun belajar bersama. Semakin semangat, ketika sadar ternyata caraku dalam membuat warna itu sama dengan apa yang dia diajarkan hari itu.
Tiap mau terjun ke suatu hal memang seru kalau kita sudah uji coba sendiri sebelumnya. Lalu setelah lokakarya, dan kursus daring, biasanya barulah ketemu teorinya sekaligus mulai paham fondasi dari ilmunya. Karena sejauh pengamatanku, biasanya penggiat pigmen warna pasti punya latar ahli biologi, ahli kimia.. Cenderung ada latar belakang sains. Setelah ditambah dengan teori- teori sains tadi, semakin lengkap lah pengetahuanku soal pigmen warna.
Setelah aku temukan formulanya, aku coba dulu di berbagai media; kulit, kertas, kain. Baru aku memberanikan dulu untuk kasih kepada teman-teman yang mau coba pake warna yang kubuat. Test lah ibaratnya.
Kiri: Batuan dari Kebumen, Jawa Tengah | Kanan:Batuan kapur dari Gunung Kidul, DIY)
N: Wah, aku kira Mbak Indira memang ada basic ilmu geologi sebelumnya, karena hobi ngulik batu >_<
IC: Hahaha.. Awalnya aku sedang membaca soal gambar cadas berupa figur pemburu dalam bentuk therianthropes (manusia dengan karakteristik binatang) di gua karst Leang Bulu Sipong - Maros, Sulawesi Selatan. Diperkirakan usianya mencapai 44.000 tahun. Gambar-gambar cadas ini menggunakan pigmen warna merah bumi. Dari situ bertambah pula ketertarikan soal batuan. Kepikiran terus, ingin tahu lebih lanjut warna apa yang akan dihasilkan batuan.
Dari situ aku punya ladang permainan baru. Jalan sedikit ke Sentul, di situ banyak sekali batuan endapan dan lainnya. Diikuti saja rasa penasarannya. Tapi kebetulan, suami ku memang geologist, tapi aku tidak pernah tanya sama dia, main-main sendiri saja, karena suamiku riset untuk keperluan perminyakan jadi sepertinya tidak ada hubungannya dengan warna. Tapi suatu hari dia melihat meja ku penuh dengan batuan, dia kaget.. Nah ternyata ada metode geologist yang tersampaikan. Metode streak yang kugunakan ternyata merupakan salah satu yang digunakan para ahli geologi.
Teknik Streak untuk mengetahui warna batuan
N: Jadi selama mengumpulkan semua warna dan berkutat dengan pigmen bumi, Hal apa yang paling menjengkelkan dan sulit dalam 10 tahun mencari warna?
IC: Yang pertama keluhan fisik. Proses menumbuk pernah sampai bikin aku kena frozen shoulder. Karena ternyata tidak semua batu muda ditumbuk. Sebenarnya ada mesinnya, tapi kita suka pengen coba manual kan, ya. Hahaha..
Lalu, sulitnya menemukan teman sejalan. Di Indonesia tidak banyak yang menggeluti hal yang sama. Kadang semangat juga luntur, tapi entah kenapa setiap ingin menyerah aku selalu dipertemukan sama orang-orang yang punya visi dan misi yang sama. Jadi bangkit lagi.
SUL: Tapi apa yang membuat itu semua terbayar?
IC: Pastinya ketika semua sudah ditumbuk, terus aku mulai melukis dan melihat warna yang dihasilkan. Itu rasanya senang sekali. Dan elemen kejutan yang selalu ada tiap proses mengolah warna, misalnya ternyata warnanya terang, tidak seperti dugaan.. Nah itu rasanya puas.
Beberapa karya Indira Cestra
N: Jadi, ini pertanyaan yang paling sulit.. kalau aku bertanya, yang mana warna dari pigmen bumi yang paling Mbak Indira gemari?
IC: Jangan tanya itu, susah! Semua suka banget. Tapi mungkin ini ada beberapa pigmen yang aku gemari.. (lihat foto di bawahuntuk lihat warna kesukaan Indira)
Warna bumi dan tanaman kesukaan Indira | Kiri ke kanan: Batuan hijau, Indigo dari pigmen tanaman, Light Brown Soil, Sodalite
N: Yang terakhir, apa saja yang Mbak Indira dapatkan selama mengulik pigmen bumi?
IC: Yang terasa itu mengenai slow living dan pentingnya proses. Di era yang serba cepat ini, kadang kita merasa jauh sekali dengan alam. Melakukan semua proses warna ini malah mendekatkan aku dengan alam, dengan bagaimana kita bisa tau warna A ini dari proses batuan yang sudah mungkin ribuan tahun. Ternyata alam mengajarkan kita juga kalau semua itu tidaklah instan. Makin paham proses, makin menghargai.
Bagaimana kita kada berserah saja dengan proses, nggak semua batuan yang aku ambil berhasil dijadikan pigmen, dan yasudah, kadang itu membuat kita untuk berhenti sejenak juga dan tidak memaksa. Ketika waktu berjalan dengan pelan, kadang malah ketemu dengan hal baru lainnya. Pelan-pelan dan dekat dengan alam saja.
Datang langsung ke pameran Colours of Indonesia untuk lihat langsung warna pigmen bumi Indonesia.
Untuk yang ingin berkolaborasi dengan Indira dan mulai mengambil sample batuan yang ada disekitar mu, bisa baca tautan ini untuk detail prosedurnya. Mari keluar, jalan-jalan.. Siapa tau ada warna yang tidak terduga!