Skip to content

Cart

Your cart is empty

Article: Bertemu dengan Tenun dari Desa Sambinasi Raya

Bertemu dengan Tenun dari Desa Sambinasi Raya
Culture

Bertemu dengan Tenun dari Desa Sambinasi Raya

Waktu itu hampir pukul 6 sore. Saya dan Adin harus bergegas kembali ke rumah sebelum gelap. Dengan badan yang lelah karena seharian mengajar, kami paksakan ngebut pergi kerumah Iwa di Desan Marotauk, Sambinasi Raya. Adin memanggilnya Iwa, tapi nama aslinya, Ibu Khalifah. Kata Bapak di rumah, Iwa masih punya koleksi anting yang sedang kami cari bentuknya.

15 menit kemudian, tiba di belokan itu. Dari kejauhan kami sudah melihat Iwa duduk di Lantai terasnya. Sambil membersihkan sayur, ia pun tersenyum ramah. “Iwaaa, Adin ni. Lagi apa?” Setelah turun dari motor, kami pun duduk disamping Iwa. Tanpa basa-basi kami langsung bertanya perihal anting. Anting kuno yang konon dijadikan sebagai sumber inspirasi para penenun dulu, yang akhirnya dijadikan motif. Tak lama anak bungsu Iwa datang dan ikut berbagi cerita, dan beliau meng-iyakan kalau benar, Iwa masih puna anting kuno tersebut, dan ternyata tidak hanya itu, bapak masih bunya sarung yang di tenun oleh Iwa sekitar 45 tahun yang lalu.

Seperti diberi bonus, kami yang datang perihal anting, dapat kesempatan melihat sarung yang ditenun seorang istri untuk suaminya waktu tahun 70-an. Tak lama kain itu dibentang, kain biru yang usang, dengan motif kuning dibagian tengahnya. Gawat, ini cantik bukan main.

Dua hari saya melihat kain-kain Tenun di daerah Sambinasi Raya ini, baru kali ini hati ini bergetar karena terkesima akan kecantikannya. “Ini Tarum kah?” Kencang dugaan saya saat itu. Ini pasti biru karena celupan Indigo. Benar sudah, berdasarkan cerita Bapak Pius dan Iwa, dulunya semua sarung tenun yang dibuat di daerah ini yang dari Tarum. Dan Tarum memang banyak sekali di kebun.

“Kalau benang untuk motif Tala itu kami beli di Palu’e dulu. Kalau umtuk benang warna dasar yang biru, Benangnya sudah beli di toko, namun hanya putih, lalu kami warna sendiri” kulihat motif talanya juga rapih sekali, ternyata itu ditenun satu urat, kata Iwa. Sudah jarang sekarang penenun yang Tenun hanya dengan satu urat saja. Karena rumit dan prosesnya automatis lebih lama.

 Satu urat yang dimaksut adalah biji benang yang ditenun, biasanya penenun sekali “tarik benang” isinya mungkin ada 3 benang (3 urat) — dulu, rata2 memakai satu urat, lebih lama memang buatnya. Tiadk lama bapak memakai sarungnya. Mata iwa juga berbinar. Bapak cerita dulu Hanya dipakai untuk acara adat.

Cepat-cepat kamera kami keluarkan. Ini yang kulihat sore itu, hari kedua di Sambinasi Raya.

--

Ditulis oleh: Annisa Hendrato

Leave a comment

This site is protected by hCaptcha and the hCaptcha Privacy Policy and Terms of Service apply.

All comments are moderated before being published.

Read more

Pigmen warna alami dari batuan oleh Indira Cestra
Interview

Bincang Noesa bersama Indira Cestra Soerojo. Penggiat Pigmen Bumi.

“The purest and most thoughtful minds are those which loves color the most” -- John Ruskin, The Stone of Venice. Jika nanti akan muncul pertanyaan, “Jika ada kesempatan untuk menjelajahi ...

Read more
Dirayu Biru. Perkenalkan, UNWOVEN!
Behind The Textile

Dirayu Biru. Perkenalkan, UNWOVEN!

Ikuti keseruan tim Noesa mewarnai benang dengan pewarna alami indigo langsung di Maumere! Di episode pertama UNWOVEN ini, kamu akan melihat proses tradisional dari daun Indigofera hingga menjadi wa...

Read more